SUARA gemeretak kayu yang beradu meramaikan suasana pagi di Dusun Blimbing, Desa Luwang, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pekan lalu. Suara itu saling bersahutan dari sejumlah rumah, tak ubahnya musik yang menemani aktivitas warga.
Di salah satu rumah, tidak jauh dari masjid kampung, beberapa warga menghadap perangkat tenun yang terbuat dari kayu. Saat mereka bekerja, suara gemeretak nyaring terdengar.
Para perajin yang sebagian besar wanita paruh baya itu sedang menenun lembaran kain panjang, tidak terlalu lebar. Sepintas wujudnya mirip selendang, tetapi kainnya lebih tebal dan tanpa motif. “Kami membuat kain stagen,“ jelas Dirjo Mulyono, 60, perajin.
Walau usianya tidak muda lagi, tangan Dirjo masih sangat cekatan mengoperasikan alat tenun tradisional.Kedua kakinya bergantian menginjak pedal untuk memasukkan benang pakan secara melintang ke benang lungsin. Ia merapatkannya dengan cara menarik tuas kayu di depannya dengan kedua tangan.
Setiap hari, Dirjo mengaku bisa membuat tiga hingga empat lembar kain stagen, yang panjangnya delapan meter. Upah untuk setiap lembar kain dipatok sebesar Rp4.000 yang dibayarkan setiap akhir pekan.
“Saya mengerjakan ini sejak muda. Pada 1965-1980 merupakan masa kejayaan stagen Blimbing,“ tuturnya. Kala itu hampir setiap rumah di dusun ini punya alat tenun. Bahkan, beberapa rumah bisa memiliki 10 alat.Perajin pun tidak hanya warga setempat. Beberapa orang datang dari luar desa.
Namun, itu dulu. “Sekarang keadaan sudah jauh berubah. Kalaupun masih ada yang mau menenun, ya paling yang tua-tua seperti saya ini atau ibu-ibu yang nggak punya kegiatan. Dari pada tengak-tenguk (melamun) di rumah,“ katanya lirih.
Sarjono, 55, pemilik usaha tenun, mengakui masa keemasan tenun stagen pudar setelah banyak pabrik tekstil berdiri di sekitar Blimbing. Makin parah lagi saat harga benang juga terus melonjak.
Sarjono sempat banting setir menjadi sopir truk ekspedisi. Beberapa alat tenun warisan orang tuanya dibiarkan mangkrak di belakang rumah.
Usaha kerajinan tenun stagen Dusun Blimbing baru bangkit kembali awal 2000. Persisnya setelah mendapatkan pasokan benang dengan harga yang jauh lebih murah dari daerah Pedan, Klaten. “Saat ini sudah ada 22 pemilik alat yang sudah kembali menjalankan usahanya. Tapi mesinnya, tidak sebanyak dulu,“ kata Sarjono yang juga Ketua RT 01/RW 07 itu.
Sarjono memiliki tiga alat tenun tua. Ia menjalankannya bersama istri dan anak-anaknya.Setelah berkembang, tiga tetangganya direkrut jadi pekerja. Ketiga alat tenun itu bisa menghasilkan 80 lembar kain stagen per bulan. Kain-kain tersebut disetorkan ke pengepul dengan harga Rp20 ribu per lembar. Rata-rata penghasilan kotor Sarjono Rp1,6 juta per bulan.
Dikurangi harga benang lusin, dan benang pakan sebesar Rp296 ribu, dan upah perajin Rp320 ribu, penghasilan bersih Sarjono mencapai Rp984 ribu per bulan.
“Memang sangat tipis hasilnya. Jika dulu ini pekerjaan utama, sekarang hanya usaha samben (sambilan),“ tandas Sarjono.
Hasil yang relatif kecil itu membuat generasi muda Blimbing memilih bekerja di pabrik. Sarjono mengaku khawatir setelah generasi tua sudah tiada, usaha tenun stagen Blimbing bisa punah. (Ferdinand/N-3) Media Indonesia, 04/12/2014, halaman 12
DPRD Kota Malang Diduga Minta Uang Suap RAPBD
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar