Transportasi Dominasi Polusi

Sumbangan emisi partikel halus dari transportasi menyumbang sekitar 75% emisi dari total emisi gas berbahaya. SEKTOR transportasi menjadi sumber pencemaran udara terbesar di perkotaan selain sektor industri dan rumah tangga. Karena itu, butuh suatu pengelolaan transportasi yang baik guna mengurangi pencemaran (polusi) udara di wilayah perkotaan.
Demikian disampaikan Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Karliansyah pada lokakarya nasional penyusunan rencana udara bersih kota, di Jakarta, kemarin.

Dia merujuk hasil inventarisasi emisi di Kota Palem bang dan Surakarta dengan basis data 2010 yang menunjukkan sumbangan emisi partikel halus dari transportasi sebesar 50% hingga 70% dari total emisi partikel halus dan sekitar 75% dari total emisi gas-gas berbahaya terhadap kesehatan.

Emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi di perkotaan juga terdapat sekitar 23% dari total emisi gas rumah kaca dari semua sumber. “Penurunan emisi pencemaran udara dari sektor transportasi harus jadi prioritas pemerintah kota dengan pengelolaan transportasi yang baik,'' kata Karliansyah.

Menurutnya, pengelolaan transportasi yang baik di antaranya dengan mengu rangi kemacetan lalu lintas, meningkatkan pelayanan transportasi umum, mengurangi pencemaran udara, dan menurunkan emisi gas rumah kaca atau mengurangi dampak perubahan iklim.
Pada kesempatan sama, Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak KLH Novrizal Tahar menjelaskan, untuk mengurangi pencemaran udara, masyarakat bisa menghindari penggunaan bahan bahan bakar minyak (BBM) subsidi seperti premium.
`'Pasalnya, polusi udara saat ini lebih disebabkan oleh penggunaan BBM bersubsidi yang mencapai lebih dari 90%. Hanya 3% yang menggunakan BBM nonsubsidi.

Kalau kita terus melakukan itu, berarti kita mendukung dan sepakat untuk samasama mencemari udara,'' kata Novrizal.
Menurut dia, kandungan sulfur BBM bersubsidi amat tinggi sehingga emisi (gas buang) yang dihasilkan akan mencemari udara dan berdampak pada meningkatnya penyakit akibat polusi.
“Contohnya kandungan sulfur diesel kita masih berada di 2.000-3.000 ppm, sedangkan yang sudah memenuhi standar Euro 4 (standar ASEAN) ialah 50-500 ppm,'' kata Novrizal.

Ia kemudian mencontohkan negara-negara tetangga seperti Singapura yang kandungan sulfur pada BBM-nya hanya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm, Thailand 50 ppm, Jepang dan Korea 10 ppm.
“Jadi, masyarakat mesti bijak menggunakan BBM bersubsidi,'' imbuhnya.
Inventarisasi emisi Sebelumnya, KLH bersama beberapa pemerintah kota di Indonesia menginisiasi kegiatan inventarisasi emisi be ban pencemaran udara. Saat ini, ada delapan kota yang menjadi proyek percontohan untuk inventarisasi emisi itu, yakni Malang, Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Batam, dan Banjarmasin.

Dua kota lainnya, yakni Palembang dan Surakarta dijadikan pilot project dengan bantuan GIZ Jerman. Di masa depan, bakal ditambah tiga kota lagi, yaitu Medan, Tangerang, dan Bandung yang dijadikan proyek percontohan untuk inventarisasi emisi.
“Dengan inventarisasi emisi ini, kami dorong kota-kota punya baseline beban pencemaran udara, yang nantinya dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan dan strategi pengendalian pencemaran udara perkotaan,'' ujar Karliansyah. (Ant/H-2) - Media Indonesia, 12/06/2014, halaman 15

0 komentar:

Posting Komentar